Arsip

Archive for Juli, 2008

Menggagas Lahirnya Nasionalisme Anti Korupsi

Menggagas Lahirnya Nasionalisme Anti Korupsi*

oleh Yakub Adi Krisanto**

 

Pendahuluan

Judul diatas mungkin terasa aneh dan janggal, tetapi apabila mengacu masalah bangsa yang selalu mengemuka oleh tangkapan media menghasilkan kesimpulan bahwa akar masalah Indonesia adalah KORUPSI. Tidak perlu melihat peringkat korupsi hasil beberapa lembaga nasional atau internasional dapat diketahui bahwa korupsi telah berurat akar di masyarakat Indonesia. Terlepas ada prinsip supply and demand, korupsi menjadi manifestasi perilaku menyimpang rakyat Indonesia. Namun perilaku tersebut tidak terlepas dari adagium, “ikan busuk berawal dari kepalanya”, karena rakyat Indonesia melakukan imitasi perilaku. Artinya bahwa kalau pemimpin, elit atau penguasa bisa melakukan korupsi (mereka), mengapa rakyat (kami) tidak bisa?

Dialektika proses inilah yang memperkuat bahwa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari korupsi. Upaya pemberantasan korupsi dalam kerangka penegakan hukum belum cukup ampuh untuk menekan praktek korupsi, atau hanya sebatas menakut-nakuti. Kecintaan terhadap Indonesia harus dimaknai sebagai keinginan untuk melihat Indonesia bebas korupsi. Cinta tanah air (nasionalisme) harus direintepretasikan, dan makalah ini mencoba melihat konsep nasionalisme sebagai sarana untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi. Dimana korupsi merupakan bentuk baru chauvinisme yaitu cinta buta terhadap Indonesia tanpa kemauan melihat kondisi faktual Indonesia yang compang-camping karena perilaku mementingkan diri sendiri dan golongannya.

Takrif Nasionalisme vs Chauvinisme

Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.[1] Dalam pemahaman yang luas nasionalisme dapat dijelaskan sebagai berikut;

Nationalism is a political creed that underlies the cohesion of modern societies and legitimizes their claim to authority. Nationalism centers the supreme loyalty of the overwhelming majority of the people upon the nation-state, either existing or desired. The nation-state is regarded not only as the ideal, “natural,” or “normal” form of political organization but also as the indispensable framework for all social, cultural, and economic activities. Yet nationalism and the nation state are comparatively recent historical development.[2]

Nasionalisme beranjak dari perkembangan historis dari perjalanan negara-bangsa. Benedict Anderson melihat bahwa lahirnya nasionalisme berawal dari kesadaran berbahasa dan budaya dari komunitas warga.[3] Dari hasil penelitian Benedict Anderson diketahui bahwa beberapa negara (nation) yang terbentuk karena sekelompok komunitas memandang bahasa dan budaya menjadi unsur pengikat dalam melakukan interaksi sosial. Unsur pengikat inilah yang melahirkan kesadaran akan nasionalisme kelompok komunitas ketika dihadapkan dengan lingkungan diluar komunitas.

Mengacu dari pendapat Benedict Anderson tersebut maka definisi nasionalisme menjadi upaya untuk mempertahankan identitas kelompok komunitas tersebut yang dianggap mempunyai unsur pembeda dengan kelompok yang lain. Unsur pembeda dari konsep indentitas bersama dari nasionalisme tersebut dalam istilah H. Kohn adalah state of mind and act of consciousness. Nasionalisme merupakan suatu bentuk respon yang bersisfat sosio-psikologis tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi lahir dari suatu respon secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yang mendahuluinya, yaitu imperialisme (kolonialisme).  Jika demikian halnya, maka awal terbentuknya nasionalisme lebih bersifat subjektif, karena lebih merupakan reaksi “group consciousness”, “we-sentiment”, “corporate will”, dan berbagai fakta mental lainnya.[4]

Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan, pertama aspek cognitive, yaitu menunjukkan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena, dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial pada segala porsinya; kedua, aspek goal/value orientation, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya; dalam hal ini yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah, memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme; dan ketida aspek affective dari tindakan kelompok  menunjukkan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau menyusahkan bagi pelakunya.[5]

Nasionalisme menjadi bentuk kesadaran kolektif atas suatu indentitas yang mempersatukan sebuah komunitas. Kesadaran kolektif tersebut terbentuk karena adanya historical background  yang menjadi unsur perekat dan pengikat individu warga komunitas dan memandang adanya kesamaan identitas menjadi pembeda dengan komunitas lainnya.

Chauvinisme

Chuavinism adalah pattern of ideas associated with extreme forms of nationalism and national pride.[6]

Chauvinist is a zealotic and fanatical nationalis obsessed by ‘pervent, blind patriotism’ who assumes ‘uniformed, narrow views’ on the peoples of the world. He is also ‘anti-everything not of his nation’, that is, anti foreigner, distrusting and diliking me of other races.[7]

Sikap chauvinis dalam bahasa kekinian adalah anti-demokrasi, dimana sikapnya lebih mengedepankan cara pandang egois yang melihat bahwa kebenaran bersumber dari dirinya. Perilaku anti orang asing (individu diluar dirinya), tidak percaya dan tidak menyukai semua orang yang tidak berasal dari ‘akar’ yang sama. Chauvinisme merupakan bentuk negatif dari nasionalisme atau nasionalime yang berlebihan dan cenderung buta (blind patriotism).

Chauvinisme sebagai suatu bentuk nasionalisme menurut Hannah Arendt dinyatakan sebagai berikut;[8]

Chauvinism is an almost natural product of the national concept insofar as it springs directly from the old idea of the “national mission.” … (A) nation’s mission might be interpreted precisely as bringing its light to other, less fortunate peoples that, for whatever reason, have miraculously been left by history without a national mission. As long as this concept did not develop into the ideology of chauvinism and remained in the rather vague realm of national or even nationalistic pride, it frequently resulted in a high sense of responsibility for the welfare of backward peoples.

Pandangan Hannah Arendt, chauvinisme dilihat menjadi nilai positif dari nasionalisme. Artinya bahwa chauvinisme menjadi  wilayah yang samar bahkan dapat didorong menjadi kebanggaan national yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Namun Hannah memberikan rambu-rambu bahwa ‘kebaikan’ chauvinisme hanya dapat terjadi apabila tidak dikembangkan dalam semangat ideologi chauvinisme yaitu blind patriotism yang dilatar belakangi ungkapan Nicholas Chauvin, The Old Guard dies but does not surrender!”.

Rekam Jejak Kebangkitan Nasionalisme Untuk Menyongsong Nasionalisme Anti Korupsi

Pertama-tama Indonesia menjadi nama dari Perhimpunan Indonesia yang beranggotakan para mahasiswa Hindia Belanda di Belanda (1920). Apa itu Indonesia, menjadi agak jelas saat lagu Indonesia Raya diukir (1926), lalu dijadikan materi Sumpah Pemuda (1928). Indonesia adalah nama sebuah komunitas, semula mahasiswa di Belanda, lalu yong-yong yang berikrar menjadi satu bangsa. Akan tetapi, baru terbatas sumpah untuk mewujudkan Indonesia menjadi komunitas bangsa (belum ditentukan batas tanah air-nya).[9]

Dalam melihat arti penting Perhimpunan Indonesia dalam pergerakan nasionalisme Indonesia, M. Arifin mengemukakan sebagai berikut;[10]

Perhimpunan Indonesia (PI) dikatakan sebagai suatu bentuk gerakan yang lebih bersifat integratif dan nasionalis karena memiliki berbagai fikiran pokok yang lebih mengarah pada “Ideologi Nasionalis”, antara lain: (1) Kesatuan Nasional: perlunya mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dan perbedaan berdasarkan daerah dan perlu dibentuk suatu kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu; (2) Solidaritas: tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia, maka perlu disadari adanya pertentangan kepentingan  yang mendasar antara penjajah dan yang dijajah, dan kaum nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dengan kulit sawo matang; (3) Non-Kooperatif: keharusan untuk menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela dari Belanda, akan tetapi harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri dan oleh karena itu tidak perlu mengindahkan dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad; (4) Swadaya: dengan mengandalkan kekuatan sendiri perlu dikembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi dan hukum yang kuat berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.

Bertolak dari pemikiran Arifin diatas maka karakteristik nasionalisme Indonesia adalah kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperatif, dan swadaya. Catur karakteristik inilah yang menjadi dasar keberhasilan membangun Indonesia sebagai negara. Reintepretasi catur-karateristik nasionalisme menjadi upaya mempersiapkan kebangkitan nasional Indonesia yang merdeka dari kolonialisme-korupsi yang menggurita dalam relasi kebangsaan. Kesatuan nasional tidak dapat dipandang bahwa Indonesia harus berwatak sentralistis-otoriter, dan perjalanan desetralisasi-otonomi daerah yang masing compang-camping dapat mendekatkan Indonesia pada gambar ideal cita-cita nasional.

Kesatuan nasional dalam kerangka desentralisasi otonomi daerah sering mengalami distorsi dalam pelaksanaannya, tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat direduksi cakupan pengertian rakyat yaitu hanya kepala daerah-legislatif.[11] Contoh paling muktahir adalah kenaikan penghasilan DPRD[12], menunjukkan bahwa kepekaan sosial pemerintah rendah yang memungkinkan wakil rakyat menikmati penghasilan ditengah sulitnya masyarakat mengatasi keterpurukan ekonomi. Ketiadaan empati sosial pemerintah menegaskan minimnya solidaritas sosial dengan lebih mengedepankan kepentingan golongan atau kelompok daripada kemaslahatan mayoritas rakyat.

Perjuangan rakyat untuk mengatasi defisit demokrasi dan korupsi harus menjadi bentuk reinventing pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka dari Korupsi. Mental korup dan budaya ‘pungut’ telah membelenggu bangsa Indonesia dan mengerem laju perkembangan ke arah pencapaian cita-cita nasional. Korupsi harus dijadikan common enemy sejajar dengan kolonialisme yang pernah berhasil dilawan dan dimenangkan bangsa Indonesia.

Dalam perspektif kebangsaan yang lebih kontemporer, rakyat pernah berhasil mencipta common enemy yaitu Orde Baru dengan tiga pilar, Soeharto, Militer, dan Golkar. Orde baru menjadi ancaman bagi keberlangsungan Indonesia yang dicita-citakan dalam konteks kekuasaan yang sentralistis dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Meskipun penciptaan common enemy dengan mengacu pengalaman gerakan pro demokrasi sebelum tumbangnya rejim Orde Baru bukan merupakan pekerjaan yang mudah (tetapi ternyata bukan pekerjaan yang mustahil).

Nasionalisme anti korupsi menjadi bentuk perlawanan terhadap semangat kebangsaan yang sempit (chauvinistic), egoisme (sektarian atau primordial) yang harus disingkirkan dengan melihat visi Indonesia ke depan.[13] Apabila komponen bangsa berhasrat Indonesia akan meng-ada dalam kurun waktu yang lama, maka di butuhkan penciptaan semangat kebangsaan seperti yang pernah terjadi pada tahun 1928. Meskipun pada masa itu kesadaran untuk ber-Indonesia sebagai sebuah negara belum ada tetapi Indonesia sebagai bangsa sudah ada.Dan saat ini Indonesia, meminjam istilah Benedict Anderson sebagai imagined community mempunyai musuh bersama yang dapat mengancam keberlangsungan Indonesia. Musuh bersama tersebut adalah korupsi dengan segala ‘kembar identiknya’ yang menggeroti bangunan kebangsaan dan menjauhkan dari cita-cita nasional bangsa Indonesia. Korupsi menjadi entry point untuk mengembalikan nation dignity dari komunitas yang bernama Indonesia. Alasannya dapat dikemukakan dengan gambar dibawah ini;

 

 

 

 

Dengan menggunakan jargonnya Denny Indrayana, “Korupsi Akar Semua Masalah” maka pun demikian masalah nasionalisme adalah korupsi. Harga diri bangsa (Indonesia) telah dilucuti dan direndahkan dengan keberadaan korupsi, karena pembentuk harga diri telah terdistorsi. Bidang manakah yang belum terjangkiti oleh mental korup dan budaya ‘pungut’? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut mampu menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kondisi kritis. Tuntutan memisahkan diri menjadi salah satu manifestasi kritisnya Indonesia karena ketidakadilan yang dirasakan daerah karena merasa di eksploitasi oleh pemerintah pusat.[15]

Nasionalisme Anti Korupsi

Gawatnya situasi kebangsaan yang berhadapan dengan korupsi maka perlu upaya sadar mencipta nasionalisme anti korupsi sebagai awal kebangkitan nasional ke-2. Pada kebangkitan nasional ke-1 dengan kesadaran berbangsa (nasionalisme) Indonesia dengan daya ikat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi awal pergerakan kemerdekaan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Puncak dari kebangkitan nasional ke-1 adalah proklamasi kemerdekaan sebagai bentuk pelepasan dari belenggu penjajah dengan harapan membangun masyarakat (Indonesia) yang adil dan makmur.

Sebagai persiapan kebangkitan nasional ke-2, prasyarat-prasyarat terbebasnya masyarakat (Indonesia) dari belenggu korupsi harus dilakukan dari sekarang. Indikator korupsi Indonesia dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi seolah-olah ‘meninju angin’. Kalaupun ada efeknya adalah hanya membuat takut, tetapi belum sampai pada tahap membuat jera (deterent effect).[16] Bahkan Wapres Jusuf Kalla memandang bahwa pemberatasan korupsi telah mengganggu roda perekonomian.

Wapres Jusuf Kalla perlu melakukan pembalikan cara pikir dalam melihat hubungan antara pemberantasan korupsi dan kondisi perekonomian. Pikiran bahwa pemberantasan korupsi mengganggu roda perekonomian bisa berbahaya dan merugikan. Pikiran seperti itu akan menjadi justifikasi berbagai praktik korup yang terjalin antara aparat birokrasi dan kalangan dunia usaha, antara pelayan masyarakat dan yang dilayani. Karena itu, pikiran itu perlu dibalik menjadi pemberantasan korupsi akan mempercepat perputaran roda perekonomian. Pembalikan cara pikir ini penting demi keberhasilan pemberantasan korupsi. Tujuannya adalah terciptanya iklim berpolitik dan berbisnis yang bersih. Dengan iklim yang bersih dari korupsi, akan tercipta perputaran roda perekonomian yang cepat dan berbiaya rendah. Dengan iklim seperti itu, waktu pengurusan investasi akan cepat dan murah, pungutan liar yang dilakukan para pemegang otoritas akan hilang, dan berbagai hambatan dapat diminimalisasi. Di sisi lain, pendapatan pajak akan optimal sehingga pembangunan infrastruktur bisa lebih baik. Akhirnya, perputaran roda perekonomian akan berbentuk percepatan.[17]

Kesadaran akan pentingnya nasionalisme anti korupsi secara implisit diungkap oleh Presiden bahwa;

Kita harus tetap kokoh dan konsisten. Yang kita tuju adalah masa depan Indonesia. Lima tahun ini adalah periode kritis untuk meletakkan landasan yang kokoh untuk dilanjutkan pemerintah berikutnya.[18]

Keberadaan Indonesia tergantung pada sejauh mana sikap bangsa Indonesia terhadap korupsi dan akibatnya. Kalau bangsa Indonesia ‘nyaman’ dengan situasi ini maka Indonesia sebagai nation-state mengalami dinosaurus sindrom. Artinya dinosaurus sebagai mahluk yang kuat ternyata harus punah ditelan sejarah karena ketidakmampuan melakukan adaptasi. Indonesia harus mampu melakukan adaptasi terhadap budaya global yaitu bebas dari korupsi. Anti korupsi merupakan budaya global dimana ketertarikan investor terhadap suatu negara sangat tergantung sejauh mana negara tersebut mampu menghilangkan korupsi.

Pertama, korupsi adalah faktor utama terjadinya ketidakpastian hukum. Padahal, faktor utama tinggi-rendahnya pertumbuhan investasi sangat ditentukan oleh faktor kepastian hukum di samping faktor stabilitas keamanan. Indikator utama kepastian hukum itu sendiri sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat korupsi. Semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara maka semakin rendah pula tingkat investasi ke negara yang bersangkutan.Kedua, korupsi membuat para pengusaha asing menjadi ketakutan menanamkan investasinya di Indonesia.[19]

Kebanggaan atas Indonesia (nasionalisme) harus diletakkan dalam posisi, bagaimana Indonesia dapat menjadi negara yang tidak melanggengkan ‘pencurian’? Mencuri milik rakyat untuk dinikmati oleh kelompok atau golongan tertentu dengan mengabaikan dampaknya. INDONESIA ADALAH BANGSA YANG BESAR TINGKAT KORUPSINYA, harus mulai dikampanyekan agar tumbuh kesadaran untuk melakukan perlawanan melawan penjajahan korupsi. Harapannya adalah kesadaran ber-anti korupsi akan menumbuhkan sense of belonging dari rakyat Indonesia yang tidak rela imagined community Indonesia menghilang dari perjalanan sejarah dunia.

KORUPSI MERUPAKAN PENJAJAH BARU INDONESIA, slogan ini harus dipropagandakan untuk menggugah semangat perlawanan rakyat terhadap korupsi dan koruptor.[20] Sehingga dengan mengacu pada gerakan reformasi 1998 sebagai ‘panen’ dari persemaian kelompok pro demokrasi pada masa rejim Orde Baru maka pembentukan common enemy yaitu KORUPSI akan memberikan dampak positif kurang lebih 10-20 tahun kedepan. Pada waktu itu menjadi awal dari kebangkitan kedua Indonesia untuk menyongsong kemerdekaan abadi Indonesia dari penjajahan korupsi tahun 2045 atau 1 abab Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Purnawacana

Nasionalisme Indonesia harus mengalami reintepretasi dari pemahaman nasionalisme masa lalu. Musuh Indonesia bukan berasal dari luar negara ini, melainkan mental korup dan budaya ‘pungut’. Untuk itu pemaknaan baru nasionalisme setelah pondasi demokrasi ditancapkan pasca reformasi 1998 maka pergerakan harus fokus pada satu masalah yaitu KORUPSI. Tanpa kamampuan meniadakannya maka Indonesia sebagai nation-state akan pudar dan hilang ditengah arus jaman. Karena Indonesia menjadi negara yang rapuh, digerogoti virus HIV-Korupsi yang mampu menggerogoti kekebalan ‘tubuh’ bangsa Indonesia.

INDONESIA ALERT! Harus mulai di propagandakan sebagai bentuk nasionalisme modern Indonesia. Indonesia dalam bahaya menjadi kesadaran nasionalisme menuju kebangkitan nasional ke dua menyongsong 1 abad Indonesia. Komitmen politik tidak cukup tetapi konsistensi terhadap penegakan hukum tanpa pandang bulu menjadi jaminan korupsi akan mulai memudar dari bumi Indonesia. Konsistensi warga bangsa yang dipercaya menjadi pemimpin nasional harus berani mengawal pemberantasan korupsi. Banyaknya rencana, banyaknya peraturan yang dibuat tidak akan cukup mampu apabila tidak disertai dengan keberanian melawan penjajahan korupsi.

 

 

Salatiga, 12 Desember 2006


* disampaikan pada Latihan Kader II (Intermediate Training) Tingkat Nasional Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) 12-16 Desember 2006.

** penulis adalah pengajar Fakultas Hukum UKSW Salatiga.

[2] David l. Sills (ed.), International Encyclopedia of The Social Sciences, The Macmillian Company & The Free Press, New York, 1968, hlm. 63.

[3] Benedict Anderson, Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme, Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, 1999.

[4] Muhammad Arifin, Kontinuitas Dan Perubahan Nasionalisme di Indonesia Dalam Perspektif Global dan Lokal.

[5] Ibid.

[6] J.S Eros, A Dictionary of the Social Sciences, The Free Press, New York, 1964, hlm. 85.

[7] Ibid.

[9] Roch Basoeki Mangoenpoerojo, Perlunya Sadar Ber-“Indonesia”, Kompas, Sabtu, 2 Desember 2006, www.kompas.com

[10] Muhammad Arifin, loc.cit.

[11] Dalam bagian menimbang UU No. 32/2004 menyatakan bahwa pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

[12] Penghasilan Anggota DPRD Naik – Mendagri Minta Peraturan Dicermasi, www.kompas.com, 8 Desember 2006.

[13] Visi Indonesia adalah cita-cita nasional yaitu (i) melindungi segenap bangsa Indonesia; (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) melaksanakan ketertiban dunia.

[14] Deny Indrayana, Berantas Korupsi: Berantas Mafia Peradilan, 28, Juni 2006, Jakarta.

[15] Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sering mengatakan bahwa Indonesia merupakan imperialisme jawa, karena mengangkut kekayaan alam Aceh ke Jakarta. Dan masyarakat Aceh tidak pernah menikmati kekayaan alam tersebut dengan menunjukkan bahwa masyarakat masih berada mengalami kemiskinan. Demikian pula Papua, eksploitasi kekayaan alam oleh PT. Freeport Indonesia menjadi acuan bagi perlawanan masyarakat Papua yang harus berada dalam ketidakberdayaan diatas gelimang gunung emas.

[16] Ada komentar menarik dari pelajar ketika terjadi aksi bagi-bagi stiker pada hari anti-korupsi 9 Desember 2006 yang lalu, “emang dengan stiker koruptor dapat ketangkep”.

[17] Toto Sugiarto, Jusuf Kalla Dan Pemberantasan Korupsi, www.kompas.com, 12 Desember 2006.

[18] Tantangannya Luar Biasa, http://www.kompas.com/, 12 Desember 2006.

[19] Widibyo, Korupsi Sebagai Penghambat Pertumbuhan Investasi, http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=22

[20] Isitlah ini perlu dipertegas karena saat ini bangsa Indonesia mungkin jijik dengan korupsinya tetapi tidak dengan aktornya. Karena sanksi sosial dan moral tidak cukup mempan mengalienasi koruptor dari interaksi sosial. Sehingga sanksi moral/sosial harus diterapkan kepada koruptor, saat ini koruptor mampu bersinergi dengan sistem penegakan hukum. Dengan bersinergi, koruptor mampu mencitrakan dirinya sudah menebus dosa dengan masuk penjara atau dengan ‘menceburkan’ diri pada sistem peradilan cukup membuktikan bahwa dirinya telah menjalani hukuman maka setelah keluar dari penjara mereka seperti berkata, “ayo terimalah saya sebagai warga bangsa (meski telah korupsi) tetapi saya kan telah menebus dosa. Sehingga setelah keluar penjara sudah suci dan bebas dari aib korupsi”.