Beranda > Persekongkolan Tender > Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender

Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender

Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender

oleh Yakub Adi Krisanto

 

Pernah  dimuat di Jurnal Hukum Bisnis, Volume – No 2 – Tahun 2006.

Abstract

Judgments of KPPU about bid-rigging are amounts 39 cases or 31% from 85 cases on period June 2000 – 31 December 2003. While there are boundaries concerning regulation of bid-rigging in Law No. 5/1999, KPPU has been done elaborated about chapter 22 on each judgments of KPPU. Meanwhile the problems on the empirical sphere are very complicated and variations of cases submit to the KPPU. Based on chapter 22 needed elaborated as a tool of rationalization for implementation and law enforcement. This paper will attempt to analysis bid-rigging on both of the theoretical and empirical perspectives relating judgments of KPPU. All at once it will become thought contribution for arrange draft on direction of prohibition bid-rigging.

 

Keywords: Conspriracy, Bid, KPPU, Bid-Rigging.

Abstrak

Putusan KPPU mengenai persekongkolan berjumlah 39 kasus atau 31% dari 85 dalam periode Juni 2000 – 31 Desember 2003. Ditengah keterbatasan mengenai ketentuan persekongkolan tender dalam UU No. 5/1999, KPPU telah melakukan elaborasi terhadap pasal 22 pada setiap putusan KPPU. Padahal permasalahan yang terjadi pada ranah empiris sangat complicated dan terdapat variasi kasus yang dihadapi. Mendasarkan diri pada ketentuan pasal 22 diperlukan elaborasi sebagai wahana penjelasan bagi penerapan dan penegakan hukum persaingan usaha. Untuk itu tulisan mencoba melihat persekongkolan tender pada perspektif teoritis dan empiris dalam putusan-putusan KPPU. Sekaligus menjadi sumbangan pemikiran untuk penyusunan draft pedoman larangan persekongkolan tender.

 

Kata Kunci: Persekongkolan, Tender, KPPU, Persekongkolan Tender.

 

I.       Pendahuluan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga baru yang dikenalkan oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 30 ayat (1) UU 5/1999 KPPU bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, dan langkah dasar dalam melakukan pengawasan adalah melakukan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha, dan ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 

Pasca berlakunya UU No. 5/1999 pada tanggal 5 Maret 2000, jumlah kasus yang ditangani KPPU mulai bulan Juni 2000 – 31 Desember 2003 adalah 85 kasus. Dari 85 kasus, 31% atau 39 kasus yang ditangani adalah jenis pelanggaran pasal 22 mengenai persekongkolan tender. Dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang ditangani KPPU, persekongkolan tender merupakan kasus yang sering ditangani, bahkan putusan KPPU berkaitan dengan pelanggaran pasal 22 berjumlah 7 (tujuh) putusan KPPU atau 15 % dari keseluruhan kasus tender. Seperti ditunjukkan pada gambar 2 bahwa status kasus persekongkolan tender antara lain (laporan KPPU: 2002):

a.   klarifikasi laporan 5 kasus (13%);

b.   laporan tidak lengkap 10 kasus (26%);

c.   monitoring pasif 6 kasus (15%);

d.   penanganan dihentikan 6 kasus (15%);

e.   putusan KPPU 6 kasus (15%);

f.     dijadikan bahan kajian kebijakan 1 kasus (3%).

Dari ketentuan pasal 22 tersebut dapat diketahui unsur-unsur persekongkolan tender adalah: (i) adanya dua atau lebih pelaku usaha; (ii) adanya persekongkolan, (iii) terdapat tujuan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender (MMPT); dan (iv) mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. UU No. 5/1999 memberikan pengertian terhadap beberapa unsur dari persekongkolan tender yang menjadi ‘pisau analisis’ bagi KPPU dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam kategori melanggar pasal 22 atau tidak? Dari 4 unsur persekongkolan tender, ada satu unsur yang harus dielaborasi oleh KPPU untuk menentukan suatu tindakan atau perbuatan melanggar pasal 22 UU No. 5/1999?, yaitu mengatur dan/atau menentukan pemenang tender (MMPT). Dibutuhkan sebuah indikator MMPT, karena tanpa adanya indikator yang dapat dijadikan ‘pisau analisis’ maka KPPU akan kesulitan untuk menentukan adanya persekongkolan tender.

 

Meskipun pasal 22 UU No. 5/1999 melarang adanya persekongkolan tender, tetapi kerancuan dalam pelaksanaan tender memicu pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan terhadap proses tender mengajukan keberatan terhadap putusan (pemenang) tender. Kondisi demikian mendorong para pelaku usaha untuk melaporkan ‘kecurangan’ atau pelanggaran dalam proses penentuan pemenang tender kepada KPPU. Karena kecenderungan yang terjadi dalam proses tender adalah mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak yang terlibat dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapat bermanifestasi dalam bentuk praktek korupsi atau penyuapan (bribery), nepotisme atau kroniisme yang memberikan privilege pada pihak tertentu yang mendorong pihak tertentu memenangkan proses tender.

 

Persekongkolan tender mendapat perhatian khusus dari KPPU sehingga mendorong KPPU untuk mengajukan draf Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5/1999. Latar belakang lahirnya draf pedoman tersebut adalah pertama, terdapatnya gambaran yang tidak jelas dalam pelaksanaan tender yang sesuai dengan semangat persaingan usaha sebagaimana ditentukan dalam UU No. 5/1999. Kedua, ketentuan pasal 22 masih bersifat umum dan kurang memberikan penjelasan rinci mengenai pelaksanaan tender. Pasal 22 hanya melarang persekongkolan untuk menentukan dan/atau mengatur pemenang tender tanpa melakukan elaborasi cara-cara atau indikator apakah yang dapat dikatakan sebagai penentuan/pengaturan pemenang tender.  Meski demikian dalam tulisan ini, draf pedoman tersebut tidak menjadi acuan dan diharapkan tulisan ini memberikan sumbangan pemikiran bagi penyusunannya.

 

Berkaitan dengan sifat keumuman dari pasal 22 maka keinginan untuk membuat suatu pedoman pelaksananaan tender perlu dihargai sebagai salah satu pelaksanaan tugas KPPU (pasal 35 huruf f UU No. 5/1999). Sehingga diperlukan upaya untuk menggali situasi yang dapat ditentukan sebagai penentuan atau pengaturan pemenang tender. Akan tetapi agar pedoman dapat menjadi benchmark bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses tender maka KPPU harus memperhatikan ”yurisprudensi” dari putusan KPPU. Karena putusan KPPU merupakan sumber hukum untuk mengetahui kondisi atau situasi yang oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai bersekongkol untuk menentukan atau mengatur pemenang tender.

 

Tulisan ini mencoba melakukan kajian terhadap putusan KPPU yang dapat memperkaya khasanah hukum persaingan usaha Indonesia khususnya elaborasi terhadap pasal 22 UU No. 5/1999. Kajian dimaksud untuk mengetahui karakteristik putusan KPPU ketika mengadili situasi yang diduga menyebabkan terjadinya persekongkolan tender. Karena seperti dikemukakan diatas bahwa pasal 22 UU No. 5/1995 hanya mengatur tender yang sifatnya umum dan belum mengatur kriteria mengenai MMPT.

 

Adapun yang ingin dikaji adalah 7 putusan KPPU tentang persekongkolan tender (lihat tabel 1). Dalam hal ini akan diusahakan suatu kajian dengan melihat legal reasoning putusan KPPU ketika memberikan putusan mengenai dugaan adanya persekongkolan tender. Bagaimana KPPU menerapkan pasal 22 UU No. 5/1999 pada kasus-kasus aktual dapat menjadi sumber hukum dalam rangka mengetahui penafsiran pasal 22 oleh KPPU. Batasan kajian terhadap putusan KPPU adalah melihat situasi atau indikasi tertentu yang oleh KPPU dianggap sebagai upaya atau cara untuk MMPT.

Tabel 1

Putusan KPPU Dalam Masalah Persekongkolan Tender

 

No.

No. Putusan KPPU

TERLAPOR

1.

No. 01/KPPU-L/2000

PT. CALTEX PASIFIC INDONESIA

2.

No. 07/KPPU-LI/2001

KOPERASI PRIBUMI INDONESIA

3.

No. 08/KPPU-L/2001

YPF MAXUS SOUTHEAST SUMATRA B.V.

4.

No. 09/KPPU-L/2001

PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA

5.

No. 01/KPPU-I/2002

PT. SEAMLESS PIPE INDONESIA JAYA

6.

No. 03/KPPU-I/2002

PT. INDOMOBIL

7.

No. 07/KPPU-L/2003

PEMKOT SEMARANG*

Sumber: Laporan KPPU Tahun 2002

* diputuskan tanggal 22 April 2004.

II.     Pembahasan

A.     Pengertian Persekongkolan

Pasal 1 angka 8 UU No. 5/1999 memberikan definisi persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Dalam  persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama. Pembentuk UU memberikan tujuan persekongkolan secara limitatif untuk menguasai pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol. Penguasaan pasar merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan termasuk dalam tender. Kiranya sulit untuk menentukan bahwa dalam persekongkolan (tender) mengarah pada penguasaan pasar apabila mengacu pada pengertian pasar pada UU No./1999 yaitu lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang/jasa.

 

UU No. 5/1999 membagi 3 bentuk persekongkolan yaitu:

a.      Persekongkolan untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender.

b.      Persekongkolan untuk memperoleh informasi yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan.

c.      Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang/jasa.

Pembentuk undang-undang menempatkan 3 bentuk persekongkolan mempunyai kesamaan kekhasan (karakteristik) yang dapat diketahui dari pengertian (dasar) persekongkolan. Pertama, kegiatan persekongkolan hanya dapat dilakukan apabila terdapat dua pihak atau lebih melakukan kerjasama secara tidak jujur, melawan hukum, dan menghambat persaingan. Kedua, bahwa tujuan dari persekongkolan adalah untuk menguasai pasar bersangkutan yaitu pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut (pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999).

 

Khusus yang terjadi dalam tender adalah upaya yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai pekerjaan/proyek untuk mendapatkan pihak lain yang dapat melaksanakan pekerjaan/proyek sesuai dengan keinginan pihak pemilik pekerjaan. Sehingga pengertian pasar dalam tender terjadi ekstensifikasi takrif (definisi) dimana yang terjadi dalam proses tender adalah permintaan untuk melaksanakan kegiatan/proyek dan penawaran melaksanakan kegiatan/proyek dengan harga terendah. Jumbuh dengan teori ekonomi bahwa di pasar terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran. Dalam situasi tersebut terjadi penguasaan pasar, dalam pemahaman tentang persekongkolan tender pasar dikuasai oleh pihak yang melakukan penawaran. Dan pihak yang melakukan penawaran bersekongkol untuk menguasai pasar dan atau MMPT.

 

Menurut Black’ Law Dictionary (1968:382) mendefinisikan persekongkolan (conspiracy), a combination or confederacy between two or persons formed for the purpose of committing, by their joint efforts, some unlawful or criminal act, or some act which is innocent in itself, but becomes unlawful when done concerted action of the conspirators, or for the purpose of using criminal or unlawful means to the commission of an act not in it self unlawful. Definisi diatas menegaskan bahwa persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk melakukan tindakan/kegiatan bersama (joint efforts) suatu perilaku kriminal atau melawan hukum. Terdapat dua unsur persekongkolan yaitu pertama, adanya dua pihak atau lebih secara bersama-sama (in concert) melakukan perbuatan tertentu dan kedua, perbuatan yang disekongkolkan merupakan perbuatan yang melawan atau melanggar hukum (Krisanto: 2002). Yang perlu digaris bawahi adalah pertama, bahwa terjadi persekongkolan apabila ada tindakan bersama yang melawan hukum. Kedua, suatu tindakan apabila dilakukan oleh satu pihak maka bukan merupakan perbuatan melawan hukum (unlawful) tetapi ketika dilakukan bersama (concerted action) merupakan perbuatan melawan hukum.

 

Robert Meiner (Siswanto; 2001) membedakan dua jenis persekongkolan apabila melihat pihak-pihak yang terlibat yaitu persekongkolan yang bersifat horizontal (horizontal conspiracy) dan persekongkolan yang bersifat vertikal (vertical conspiracy). Persekongkolan horizontal adalah persekongkolan yang diadakan oleh pihak-pihak yang saling merupakan pesaing, sedangkan  persekongkolan vertikal adalah persekongkolan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berada dalam hubungan penjual (penyedia jasa) dengan pembeli (pengguna jasa). Asril Sitompul (1999;31) juga membedakan persekongkolan menjadi dua yaitu persekongkolan intra perusahaan dan persekongkolan paralel yang disengaja. Persekongkolan intra perusahaan terjadi apabila dua atau lebih pihak dalam satu perusahaan yang sama mengadakan persetujuan untuk mengadakan tindakan yang dapat menghambat persaingan. Persekongkilan paralel disengaja terjadi apabila beberapa perusahaan mengikuti tindakan dilakukan perusahaan besar (market leader) yang sebenarnya merupakan pesaing.

 

Berkaitan dengan definisi persekongkolan muncul permasalahan yaitu apabila terjadi kerjasama antara dua pelaku usaha, tetapi yang melakukan perbuatan hanya salah satu pihak dari pihak yang bekerjasama. Padahal dengan melakukan sendirian suatu perbuatan pihak tersebut dapat menguasai pasar atau mempengaruhi proses tender. Apakah situasi demikian dapat dikatakan telah terjadi persekongkolan? Situasi tersebut sangat mungkin terjadi dalam pelaksanaan tender, karena kerjasama yang dibangun dilakukan tidak pada saat proses tender berlangsung. Sehingga pada saat tender,  salah satu pihak mengikuti proses tender dan dapat menguasai pasar karena kekuatan modal atau pengaruh pada pasar tertentu. Salah satu indikator terjadi persekongkolan yaitu apakah terdapat tujuan untuk menguasai pasar ketika melakukan kerjasama.

 

Definisi persekongkolan apabila dilihat dalam perspektif pasal 22 jo pasal 1 angka 8 UU No. 5/1999 maka pelaku usaha dilarang melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Ada dikotomi terminologi antara penguasaan pasar dengan MMPT, apakah MMPT termasuk dalam pengertian penguasaan pasar? Dalam kondisi apakah MMPT dikategorikan telah melakukan pengusaan pasar? Karena UU No. 5/1999 tidak memberikan definisi mengenai penguasaan pasar, hanya dalam pasal 1 angka (3) menyebutkan istilah pemusatan kekuatan ekonomi yaitu penguasaan secara nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.

 

Ketentuan mengenai penguasaan pasar terdapat dalam pasal 19 UU No. 5/1999 yang mengkategorikan sebagai kegiatan yang dilarang oleh undang-undang. Pengkategorian yang dilakukan oleh undang-undang berkaitan dengan situasi atau perilaku yang dapat diduga telah terjadi penguasaan pasar, berupa:

a.      Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

b.      Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau

c.      Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau

d.      Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Selain penguasaan pasar diatas, masih terdapat dua bentuk yang lain yaitu pertama, menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan dengan cara melakukan jual rugi atau enentapkan harga yang sangat rendah (pasal 20 UU No.5//1999). Kedua, melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya  produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa (pasal 21 UU No. 5/1999).

 

Hubungan antara penguasaan pasar dan MMPT dalam persekongkolan tender menunjukkan kejelasan bahwa dalam hal terjadi persekongkolan MMPT mempunyai tujuan untuk menguasai pasar. Untuk itu dalam menentukan terjadinya persekongkolan tender harus melihat cara-cara menguasai pasar yang melawan hukum seperti pada pasal 19 sampai dengan 21 UU No. 5/1999.. Penguasaan pasar dalam tender ditempuh dengan melakukan persekongkolan dimana penguasaan tidak akan terjadi apabila hanya terdapat satu pelaku usaha yang mempunyai kemampuan untuk menentukan atau mengatur pemenang tender.

 

B.      Pengertian Tender

Tender dalam hukum persaingan usaha Indonesia mempunyai pengertian tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa (penjelasan pasal 22 UU No. 5/1999). Tawaran dilakukan oleh pemilik kegiatan/proyek, dimana pemilik dengan alasan keefektifan dan keefisienan apabila proyek dilaksanakan sendiri maka lebih baik diserahkan pihak lain yang mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan proyek/kegiatan.

 

Dalam pengertian tender termasuk dalam ruang lingkup tender antara lain pertama, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan. Kedua, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk mengadakan barang-barang. Ketiga, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk menyediakan jasa. Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan atau menyediakan barang/jasa yang dikehendaki oleh pemilik pekerjaan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antara pemenang tender dengan pemilik pekerjaan.

 

Para pihak dalam tender terdiri dari pemilik pekerjaan/proyek yang melakukan tender dan pelaku usaha yang ingin melaksanakan proyek yang ditenderkan (peserta tender). Tender yang bertujuan untuk memperoleh pemenang tender dalam suatu iklim tender yang kompetitif harus terdiri dari dua atau lebih pelaku usaha peserta tender. Dua atau lebih pelaku usaha akan berkompetisi dalam mengajukan harga dari suatu proyek yang ditawarkan, sehingga apabila peserta tender hanya satu maka pilihan pemilik pekerjaan menjadi lebih terbatas. Keterbatasan pilihan sangat tidak menguntungkan bagi pemilik pekerjaan karena ide dasar dari pelaksanaan tender adalah mendapatkan harga terendah dengan kualitas terbaik. Sehingga dengan keberadaan lebih dari dua peserta tender akan terjadi persaingan dalam pengajuan harga untuk memborong, mengadakan atau menyediakan barang/jasa.

 

 

C.     Unsur-Unsur Persekongkolan Tender

Diatas telah dikemukakan pengertian persekongkolan tender yang berasal kolaborasi dua terminologi yaitu persekongkolan dan tender. Dari penjelasan diatas maka takrif persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha yang melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian dalam persekongkolan tender memuat unsur-unsur sebagai berikut:

1.      adanya dua atau lebih pelaku usaha;

2.      adanya kerjasama untuk melakukan persekongkolan dalam tender;

3.      adanya tujuan untuk menguasai pasar;

4.      adanya usaha untuk mengatur/menentukan pemenang tender;

5.      mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

 

Seperti telah dikemukakan diatas, unsur-unsur tender didasarkan pada ketentuan pasal 22 UU No.5 /1999. Dan unsur-unsur yang dikemukakan pada bagian ini berasal elaborasi dari unsur-unsur dalam pasal 22. Meskipun ada perbedaan tetapi dari hasil elaborasi tersebut memperjelas pemahaman terhadap persekongkolan tender. Pertama, unsur dua atau lebih pelaku usaha.  Unsur ini dalam pasal 22 menegaskan bahwa persekongkolan tender dapat terjadi tidak hanya antar pelaku usaha, tetapi pihak lain. Artinya dalam tender pihak yang terlibat adalah pemilik pekerjaan (penawar tender) dan peserta tender. Namun demikian pengertian pihak lain dalam hal ini untuk mengantisipasi celah hukum bahwa persekongkolan dapat terjadi antara pelaku usaha (korporasi) tetapi juga antara pelaku usaha dengan individu. Individu dalam hal ini misalnya oknum pemilik pekerjaan yang berkedudukan sebagai panitia tender. Atau dilakukan dengan individu yang mempunyai akses terhadap pemilik pekerjaan dan akses tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemilik pekerjaan dalam menentukan pemenang tender.

 

Kedua, unsur kerjasama. Berasal dari pengertian dasar persekongkolan (conspiracy) bahwa di dalam persekongkolan terdapat suatu kerjasama (combination) dari pelaku usaha yang terlibat didalamnya untuk melakukan suatu perbuatan/kegiatan (joint efforts). Kerjasama yang diidentifikasikan sebagai persekongkolan apabila dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum (unlawful), dan anti persaingan sehat. Kerjasama menuntut adanya dua pihak atau lebih untuk melakukan kegiatan bersama yang disepakati dan kegiatan tersebut bersifat negatif. Unsur pertama dan kedua mempunyai korelasi positif dan saling menegaskan, bahwa kerjasama menuntut peran dua pihak atau lebih. Ketiga, unsur penguasaan pasar. Dalam pasal 19 sampai dengan pasal 21 UU No. 5/1999 memberikan batasan perbuatan yang mengarah pada penguasaan pasar. Sehingga persekongkolan tender sebagai konsekuensi pengertian persekongkolan harus memenuhi unsur penguasaan pasar, meskipun dalam pasal 22 UU No. 5/1999 tidak menyebutkan unsur penguasaan pasar. Untuk itu persekongkolan tender harus dibuktikan adanya indikasi adanya penguasaan pasar dengan melihat perbuatan yang dilakukan termasuk dalam ruang lingkup kegiatan untuk menguasai pasar.

 

Keempat, adanya usaha untuk MMPT. Kerjasama yang dibangun para pihak dalam bersekongkol harus dibuktikan bertujuan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender. Dengan demikian persekongkolan dalam tender mempunyai tujuan ganda (double objectives) yaitu untuk menguasai pasar dan MMPT. Dalam proses tender tujuan persekongkolan mempunyai skala prioritas yaitu tujuan manakah yang harus didahulukan? Karena dimungkinkan bahwa dalam proses tender, para pihak melakukan penguasaan pasar untuk MMPT atau sebaliknya MMPT sebagai wahana untuk melakukan penguasaan pasar dalam kegiatan pemborongan, pengadaan, dan penyediaan barang/jasa.

 

Kelima, unsur mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 1 angka 6 UU Np.5/1999 mendefinisikan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan. Persekongkolan tender dinyatakan dilarang karena cara-cara dalam berkompetisi dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum dan menghambat persaingan. Jumbuh dengan pemahaman tersebut, persekongkolan merupakan kerjasama yang illegal (unlawful) maka persekongkolan tender merupakan perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum persaingan usaha karena cara maupun hasil dari tercapainya tujuan mempunyai potensi atau kecenderungan melawan hukum.

 

United States Departement of Justice menentukan bahwa persekongkolan tender (bid rigging) adalah the way that conspiring competitors effectively raise prices where purchasers – often federal, state, or local goverments – acquired goods or services by soliciting competing bids. Persekongkolan tender terjadi ketika para pesaing bersekongkol untuk menaikkan harga agar salah satu pesaing yang disepakati dapat memenangkan tender. Ari Siswanto (2001) bahkan secara tegas menyatakan bahwa persekongkolan tender mengartikan persekongkolan yang dilakukan oleh peserta tender untuk mengatur dan menentukan siapa yang menjadi pemenang tender. Senada dengan pengertian persekongkolan tender diatar, Naoaki Okatani (Anggraini 2003: 364) menyatakan bahwa persekongkolan tender  terjadi apabila para penawar akan menentukan perusahaan mana yang harus mendapat order dengan harga kontrak yang ditawarkan. Persekongkolan tender terjadi sebelum diumumkan pemenang tender dan bersarnya harga kontrak, masing-masing peserta tender melakukan penawaran dengan harga yang telah direncanakan sebelumnya.

 

Di Amerika, Departemen of Justice menemukan beberapa bentuk persekongkolan tender antara lain;

1.        Bid Suppression, terjadi apabila peserta tender atau calon peserta tender sepakat untuk menahan diri dari proses tender atau akan menarik diri dari penawaran tender dengan harapan pihak-pihak yang sudah ditentukan dapat memenangkan tender (agree to refrain from bidding or with draw a previously submitted bid so that the designated winning competitor’s bid will be accepted).

2.        Complementary Bidding (cover or courtesy bidding), terjadi ketika beberapa peserta tender sepakat untukmengajukan penawaran yang sangat tinggi atau mengajukan persyaratan khusus yang tidak akan diterima oleh pemilik pekerjaan/proyek (the buyer). Bentuk penawaran tender ini tidak dimaksudkan untuk memberikan penawaran yang sebenarnya tetapi menipu/mengelabui pemilik kegiatan/proyek yang melaksanakan tender dengan menciptakan persaingan yang merahasikan penggelembungan harga penawaran.

3.        Bid Rotation, pada bentuk ini berkaitan dengan harga penawaran bertolak belakang dengan complementary bidding dimana peserta tender mengajukan penawaran tetapi dengan mengambil posisi sebagai penawar dengan harga terendah. Dan istilah rotation sangat bervariatif misalnya para pesaing mengambil bagian pada sebuah kontrak sesuai dengan ukuran kontrak atau mengumpulkan pesaing yang mempunyai kemampuan usaha yang sama sehingga pemenang tender dapat dikompromikan antar pesaing karena semua pihak akan mendapatkan jatah menjadi pemenang.

4.        Subcontracting, bentuk ini menjadi indikator terjadinya persekongkolan tender. Pelaku usaha (competitors) bersepakat untuk tidak mengajukan penawaran dengan menerima kompensasi menjadi subkontraktor dari sebuah pekerjaan atau menjadi pemasok bagi pemenang tender.

Diantara bentuk-bentuk persekongkolan tender mempunyai kesamaan yaitu pertama, adanya persetujuan (kesepakatan) antara peserta tender yang seharusnya secara kompetitif ‘memperebutkan’ kemenangan untuk menjadi pelaksana suatu proyek yang ditenderkan. Kedua, peserta tender menentukan terlebih dahulu pemenang tender sebelum proses tender dilaksanakan. Ketiga, membatasi atau menyingkirkan para pesaing yang akan masuk dalam proses tender.

D.     Karakteristik Putusan KPPU dalam Persekongkolan Tender

Pada bagian ini akan mengkaji putusan KPPU dalam persekongkolan tender, khususnya 7 putusan KPPU (lihat tabel 1). Meskipun pada laporan KPPU tahun 2002 terdapat 6 putusan KPPU tetapi ada satu putusan yang terakhir pada tanggal 22 April 2004 mengenai Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK) Kota Semarang. Dari 39 kasus persekongkolan tender yang dilaporkan KPPU selama periode 2000 – 2002 terdapat 6 (15%) kasus yang sudah diputuskan oleh KPPU. Dan ada 1 putusan yang substansinya tentang tender tetapi diadili tidak berdasarkan pasal 22 UU NO. 5/1999 melainkan dengan pasal 19 huruf d UU No. 5/1999 yaitu perkara antara PT. Seamless Pipe Indonesia Jaya dengan PT. Citra Tubindo Tbk. Sehingga analisis terhadap karakteristik putusan KPPU dalam persekongkolan tender tidak dilakukan terhadap putusan tersebut (Putusan No. 01/KPPU-I/2002).

 

Dari ketujuh putusan KPPU tersebut dibagi menjadi 3 putusan menyatakan bersalah dan 3 putusan yang tidak menyatakan bersalah melanggar pasal 22 UU No. 5/1999. 3 putusan yang tidak menyatakan melanggar yaitu Putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2001, Putusan KPPU No. 09/KPPU-L/2001, dan Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2003. Dan 3 putusan yang menyatakan bersalah yaitu Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001, Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000, dan Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002. Ada dua model ketika KPPU memutuskan tidak adanya pelanggaran pasal 22 yaitu, pertama, dengan terlebih dahulu menganalisis unsur-unsur persekongkolan tender sampai pada satu analisis yang menyatakan tidak dipenuhinya unsur persekongkolan tender. Model pertama dilakukan pada Putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2001, Putusan KPPU No. 09/KPPU-L/2001. Kedua, KPPU yang tidak menganalisis unsur-unsur persekongkolan tender melainkan langsung menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan tidak melanggar pasal 22 UU No. 5/1999. Model ini terdapat pada Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2003.

 

Adanya keterbatasan ruang untuk melakukan kajian secara komprehensif terhadap putusan KPPU tersebut khususnya legal reasoning dari setiap putusan maka tulisan ini menekankan pada implementasi pasal 22 UU No. 5/1999. Implementasi difokuskan pada unsur-unsur persekongkolan tender yang telah dielaborasi pada penjelasan sebelumnya. Untuk unsur adanya dua atau lebih pelaku usaha, tentunya dalam tender terdapat lebih dari dua pihak yaitu Pemilik Kegiatan/Proyek (atau dalam Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa disebut dengan Pengguna Barang/Jasa) dan Peserta Tender (Penyedia Barang/Jasa). Bagi perusahaan yang mengadakan tender tujuan dari tender adalah mendapatkan harga penawaran tender yang paling rendah dengan kualitas barang/jasa yang terbaik. Dan untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan membandingkan berbagai macam harga penawaran dari lebih satu penyedia barang/jasa.

 

Dalam hal kerjasama yang mengarah pada tindakan untuk melakukan persekongkolan, ada beberapa variasi elaborasi yang dilakukan KPPU. Pertama, apabila terdapat bukti adanya pertemuan yang dilakukan peserta lelang seperti terjadi pada Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000 tentang dugaan pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999 oleh PT. Caltex Pasific Indonesia (CPI). KPPU menemukan bahwa telah terjadi pertemuan antara PT. CPI dengan peserta tender yang lain (PT. Purna Bina Nusa, dan PT. Patraindo Nusa Pertiwi). Dalam pertemuan tersebut PT. CPI meminta dua peserta tender untuk membuka dan memperlihatkan dokumen penawaran yang memuat harga penawaran. PT. Citra Tubindo, Tbk, dapat membujuk peserta tender lain untuk menginformasikan harga penawaran disebabkan oleh posisinya yang kuat (skala perusahaan dan kemampuan modal) dibandingkan dengan peserta lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan kemampuan PT. Citra Tubindo yang mempunyai fasilitas low grade dan high grade.

 

Pertemuan yang mengarah pada persekongkolan harus disertai dengan fakta bahwa pertemuan dapat mengakibatkan terjadinya kerjasama untuk melakukan persekongkolan. Dan apabila tidak ditemukan bukti maka kerjasama tersebut bukan merupakan persekongkolan. Seperti pada Putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2001 tentang dugaan pelaksanaan tender oleh YPF Maxus, KPPU tidak menemukan bukti adanya pertemuan untuk menyesuaikan atau membandingkan dokumen penawaran oleh peserta tender.

 

Kedua, KPPU juga melihat kerjasama untuk melakukan persekongkolan harus terjadi secara nyata dan didukung oleh saksi. Seperti pada Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2003 tentang pengadaan barang/jasa SIMDUK dan NON SIMDUK di Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Pemkot Semarang, KPPU tidak menemukan adanya peristiwa/kejadian yang mengarah adanya suatu kerjasama. Bahwa pengertian persekongkolan tender dalam pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 berdasarkan pelaksanaan tender SIMDUK yang diputus oleh KPPU ditafsirkan bahwa persekongkolan yang terjadi akibat Putusan Internal Panitia Lelang yang menentukan secara sepihak pemenang tender tidak termasuk sebagai persekongkolan tender menurut pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 sekalipun dalam proses penentuan pemenang tender dilakukan dengan mengabaikan prosedur yang ditentukan oleh Keppres No. 18/2000.

 

Ketiga, dalam hal para pihak yang melakukan kerjasama, Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000 menyatakan bahwa kerjasama dapat dilakukan oleh sesama peserta tender. Selain itu kerjasama dapat diduga terjadi apabila yang melakukan adalah panitia tender (pemilik kegiatan/tender) seperti pada Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001 tentang Pengadaan Sapi Bakalan Kereman Import.

 

Keempat, KPPU juga menentukan bahwa kerjasama dapat terjadi apabila salah satu pihak dalam tender memberikan kesempatan eksklusif salah satu peserta tender pada Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001 tentang Pengadaan Sapi Bakalan Kereman Import. Dalam kasus tersebut panitia tender mengajak Koperasi Pribumi Indonesia berkunjung ke Australia dengan biaya yang ditanggung oleh Panitia Lelang. Berkaitan dengan kesempatan eksklusif yang merupakan kerjasama (untuk melakukan persekongkolan), KPPU menegaskan kembali pada saat memutuskan dugaan Persekongkolan Tender oleh PT. Telkom dengan Putusan KPPU No. 09/KPPU-L/2001 bahwa kerjasama tidak terjadi apabila pihak lain tidak memfasilitasi dan atau memperlakukan secara istimewa peserta tender dan sebaliknya peserta tender tidak berupaya mendapatkan fasilitas dan atau perlakuan istimewa tersebut.

 

Pada Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002, KPPU menentukan bahwa persekongkolan dalam pasal 22 UU No. 5/1999 merupakan lex spesialis dari ketentuan persekongkolan dalam pasal 1 angka 8 UU No. 5/1999 (lex generalis). KPPU berinisiatif membuat definisi persekongkolan lex spesialis yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian (concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan (comparing Bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu. Dikatakan sebagai definisi inisiatif karena UU No. 5/1999 hanya memberikan definisi persekongkolan pada pasal 1 angka 8.

 

Unsur lain dari persekongkolan tender adalah bertujuan untuk menguasai pasar dan MMPT. Bahwa terdapat hubungan simbiosisme antara dua tujuan tersebut, artinya bahwa salah satu tujuan akan tercapai dengan mencapai tujuan lain terlebih dahulu. Dalam persekongkolan tender, tujuan untuk menguasai pasar akan tercapai apabila para pihak yang bersekongkol dapat menentukan dan mengatur pemenang tender. Hal ini perlu diperhatikan karena apabila melihat bunyi pasal 22 UU No. 5/1999 maka tujuan penguasaan pasar tidak disebutkan secara eksplisit. Karena penguasaan pasar merupakan tujuan dari persekongkolan an sich bukan tujuan dari persekongkolan tender. Demikian pula pada putusan-putusan KPPU tidak memuat legal reasoning dari unsur penguasaan pasar, tetapi hanya menganalisis fakta-fakta yang berkaitan dengan unsur MMPT.

 

KPPU mengelaborasi unsur MMPT dalam persekongkolan terder berdasarkan ada tidaknya kerjasama yang dibentuk atau dibangun oleh pihak-pihak yang bersekongkol. Karena suatu kerjasama dapat diklasifikasikan sebagai persekongkolan apabila terdapat kerjasama untuk MMPT. KPPU dalam  putusannya menegaskan bahwa persekongkolan tender terjadi apabila terdapat kerjasama dan kerjasama yang dilakukan dapat mempengaruhi situasi persaingan dalam tender. Dan persaingan menjadi tidak efektif karena adanya kerjasama untuk MMPT. Seperti telah dikemukakan diatas, terdapat berbagai variasi kerjasama yang diputuskan KPPU sebagai persekongkolan. Dan ketika KPPU menilai bahwa kerjasama dinyatakan sebagai persekongkolan maka dalam pertimbangan KPPU melekat analisis adanya tujuan untuk MMPT. Tetapi ada putusan KPPU yang tidak memasukkan unsur MMPT ketika menguji perbuatan yang diduga melanggar pasal 22 UU No. 5/1999 yaitu Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002.

 

Pada Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000 tentang dugaan pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999 oleh PT. Caltex Pasific Indonesia (CPI), bahwa permintaan dari PT. CPI untuk membuka dokumen penawaran apabila ingin memperoleh supporting letter diklasifikasikan sebagai usaha dari PT. CPI untuk MMPT. Padahal pada pertemuan tersebut tidak ada kesepakatan antara PT. CPI dengan dua peserta tender untuk menentukan atau mengatur pemenang tender. Pada kasus SIMDUK kota Semarang (Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2003), KPPU tidak mengklasifikasikan putusan internal panitia lelang yang menguntungkan salah satu peserta tender sebagai MMPT. Padahal keuntungan dalam bentuk perubahan ranking hasil evaluasi teknis oleh Panitia Lelang mengakibatkan peserta lelang memenangkan tender. Sehingga keuntungan yang mempengaruhi putusan tender tidak dikategorikan sebagai MMPT, atau KPPU melihat bahwa putusan internal panitia lelang terjadi bukan karena terdapatnya kerjasama antara peserta lelang dengan panitia lelang.

 

Putusan KPPU untuk kasus SIMDUK bertolak belakang dengan Putusan Tender Sapi Bakalan Kereman (Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001), dimana panitia lelang yang memberikan kemudahan pemenuhan administratif secara tidak wajar dan pengurangan pemberlakuan persyaratan teknis untuk memungkinkan Pelaku Usaha memenuhi persyaratan sebagai pihak yang ditunjuk atau pemenang tender dikategorikan memenuhi unsur MMPT. Dari dua putusan KPPU muncul kontradiksi dalam memahami MMPT, karena keputusan panitia lelang yang mengakibatkan peserta tender mendapatkan keuntungan dan mengarahkan pada salah satu peserta tender agar menjadi pemenang tender dipahami secara berbeda. Agak berbeda dengan kategori MMPT pada kasus yang dijelaskan diatas, pada kasus tender oleh PT. Telkom (Putusan KPPU No. 09/KPPU-L/2001), KPPU menentukan bahwa dipenuhinya unsur MMPT apabila ditemukan fakta bahwa ada tindakan penyesuaian dan atau membandingkan dokumen sebelum penyerahan dokumen penawaran.

 

Pada Putusan KPPU No. 09/KPPU-L/2001, KPPU melakukan elaborasi dari analisis MMPT pada kasus PT. CPI, dimana adanya fakta berupa bujukan atau permintaan untuk membuka dokumen penawaran tidaklah cukup untuk mengklasifikasikan sebagai MMPT. Permintaan pembukaan dokumen penawaran harus disertai dengan tindakan membandingkan atau menyesuaikan dokumen penawaran. Dalam hal ini KPPU melakukan analisis tujuan dilakukannya pembukaan dokumen penawaran, yaitu untuk mengetahui harga penawaran peserta tender, dan melakukan penyesuaian terhadap harga penawaran yang dimiliki agar dapat mengalahkan harga penawaran yang diajukan peserta lain. Sehingga tindakan membandingkan dan menyesuaikan merupakan upaya untuk MMPT. Analisis ini digunakan atau diterapkan oleh KPPU pada saat membuat Putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2001. KPPU tidak memvonis adanya persekongkolan tender ketika tidak terpenuhinya unsur MMPT. Dan untuk menganalisis terjadinya MMPT atau tidak, KPPU menggunakan kriteria perbandingan atau penyesuaian dokumen penawaran.

 

KPPU dalam putusan-putusannya tidak menganalisis unsur-unsur persaingan usaha tidak sehat, yaitu bahwa dalam menjalankan kegiatan produksi atau pemasaran barang/jasa dilakukan dengan cara-cara tidak jujur, melawan hukum dan menghambat persaingan. Bahkan untuk putusan KPPU yang menyatakan tidak adanya pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999, KPPU tidak memberikan legal reasoning terhadap persaingan usaha tidak sehat.

1.  Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001 hanya menjelaskan gambaran umum mengenai cara tidak jujur, melawan hukum, dan menghambat persaingan yaitu pertama, adanya kesengajaan Panitia Lelang mengijinkan peserta tender mengikuti tender yang tidak memenuhi Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) atau memiliki kualifikasi jauh dibawah kualifikasi peserta tender. Kedua, adanya diskriminasi dari panitia lelang dengan tidak memberikan toleransi yang sama pada peserta tender yang lain sehingga menghambat masuknya peserta lain untuk berkompetisi dan bersaing.

2.  Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000 ini bahkan tidak menjelaskan fakta-fakta yang berkaitan dengan cara tidak jujur, melawan hukum, dan menghambat persaingan. Pada putusan tersebut hanya KPPU mengklasifikasikan menawarkan harga setelah melihat harga penawaran pesaing merupakan cara tidak jujur, melawan hukum, dan menghambat persaingan. Karena mungkin cara memperoleh harga penawaran secara tidak jujur dan melawan hukum. Dan akibat dari cara-cara seperti itu, KPPU menilai telah menimbulkan hambatan persaingan karena harga penawaran yang ditawarkan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan peserta lain.

3.  Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002, KPPU menyatakan kerjasama untuk melakukan persekongkolan mengakibatkan hambatan persaingan dalam bentuk tidak adanya persaingan dan atau persaingan jumlah dan kualitas peserta. Dalam menganalisis pemenuhan unsur persaingan usaha tidak sehat menggunakan fakta  pada unsur bersekongkol. Hal ini menegaskan bahwa seperti pada unsur MMPT yang tergantung pada kerjasama untuk melakukan persekongkolan, demikian pula pada unsur persaingan usaha tidak. Maka dari itu analisis mendalam terhadap unsur persekongkolan harus akurat karena pada putusan KPPU terpenuhinya unsur-unsur persekongkolan tender berdasarkan pada terpenuhinya unsur persekongkolan.

III.  Penutup

Dari penjelasan yang telah dikemukkan diatas diketahui bahwa KPPU sedang learning by doing ketika mengadili perkara pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999 tentang persekongkolan tender. Dan diantara putusan-putusan KPPU tentang persekongkolan tender saling melengkapi, karena putusan KPPU merupakan yurisprudensi atau sebagai sumber hukum ketika hendak mengadili perkara persekongkolan tender. Ketidak lengkapan atau kekurang sempurnaan karena KPPU tidak terlebih dahulu menetapkan unsur-unsur pasal 22 UU No. 5/1999, dan hal tersebut seharusnya dilakukan karena 31% atau 39 perkara yang ditangani KPPU adalah masalah persekongkolan tender. Meskipun saat ini KPPU telah mengeluarkan draft pedoman tentang larangan persekongkolan dalam tender tetapi perlu dilakukan review atau disseminasi terhadap putusan-putusan KPPU. Dan tulisan ini salah upaya melakukan sumbangsih terhadap penyusunan draft pedoman tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Tri A.M, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat – Perse Illegal atau Rule of Reason, Jakarta, Tanpa Penerbit, 2003.

 

Black’s Law Dictionary, Revised Fourth Edition, West Publishing Co, 1968.

 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Laporan Berkala Tahun 2002, www.kppu.go.id

 

Krisanto, Yakub Adi, Kajian Normatif Pasal 22 UU No. 5/1999 dalam Pelaksanaan Tender Penjualan Saham Indomobil, Refleksi Hukum, Salatiga, April – Oktober 2002.

 

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 01/KPPU-L/2000.

 

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 07/KPPU-LI/2001.

 

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 08/KPPU-L/2001.

 

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 09/KPPU-L/2001.

 

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 01/KPPU-I/2002.

 

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 03/KPPU-I/2002.

 

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 07/KPPU-L/2003.

 

Siswanto, Ari, ‘Bid-Rigging’ Sebagai Tindakan Antipersaingan dalam Jasa Konstruksi, Refleksi Hukum UKSW, Salatiga, April – Oktober, 2001.

 

Sitompul, Asril, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

 

United States Departement Of Justice, Price Fixing, Bid Rigging, and Market Allocaation Schemes: What They Are And What They Look For, http://www. usdoj.gov/atr/public/guidelines/pfbprimer.pdf.

 

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

  1. bunga sarasvita
    Desember 16, 2008 pukul 11:28 am

    kalu bisa analisis pasal-pasal yang lain lagi…

    • yakubadikrisanto
      Agustus 10, 2010 pukul 2:00 am

      siap. terimakasih supportnya

  2. Yudo Widiyanto
    Desember 29, 2008 pukul 12:40 pm

    Timbul pertanyaan beragamnya penerapan unsur-unsur persekongkolan apakah juga integral dengan bobot sanksi yang diberikan. Hingga saat ini belum juga terdapat aturan yang jelas mengenai perhitungan sanksi administratif dari KPPU yang harus dibayarkan oleh para terlapor.

    Jika dianggap sebuah yurisprudensi, maka rangkaian karakterisitik putusan tersebut khususnya mengenai persekongkolan harus dijadikan pedoman untuk menentukan bobot sanksi dalam putusan KPPU berikutnya.

    • yakubadikrisanto
      Agustus 10, 2010 pukul 2:05 am

      betul mas, sanksi administrasi yang dilakukan adalah larangan utk terlibat dalam tender diwilayah tersebut. dan ini merupakan celah, karena pelaku usaha masih tetap bisa ikut tender di tempat lain. demikian juga utk denda, dalam putusan KPPU tidak ada argumentasi yuridis yang dikemukakan. kecuali denda tersebut mengacu pada ketentuan yg diatur dalam undang-undang.

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke Yudo Widiyanto Batalkan balasan